HAK-HAK PASIEN
DAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
Rahayu Widodo, S.Si., Apt.
DAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
Rahayu Widodo, S.Si., Apt.
(Ketua Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Sleman, Yogyakarta & Sekjen Perkumpulan Sehat Indonesia)
Salah satu institusi penting dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah apotek. Gambaran umum masyarakat mengenai fungsi apotek barangkali masih sebatas bahwa apotek bertugas menyiapkan resep dan menjual obat-obatan. Lebih dari itu tampaknya hanya sebagian kecil masyarakat yang mengetahuinya. Persepsi tersebut menjadikan pasien tidak banyak mengerti akan hak-haknya terhadap pelayanan kefarmasian di apotek.
Ketidaktahuan pasien akan hak-haknya bisa membuat proses terapi menjadi tidak optimal. Pelayanan kesehatan kepada pasien akan berjalan efektif bila terjadi perimbangan kesadaran dan kepemahaman antara penyedia layanan dengan pihak pasien atau konsumen. Penyedia layanan berkewajiban mematuhi standar kerja/profesi, di sisi yang lain masyarakat perlu sadar akan hak-haknya. Ketidakberdayaan salah satu pihak akan cenderung memunculkan dominasi pihak lain.
Hak-hak pasien telah diakui dan diatur dalam perundang-undangan kita, meskipun secara riil masih banyak masyarakat yang belum menyadarinya. Selanjutnya peraturan tersebut wajib diimplementasikan dalam setiap jenjang pelayanan kesehatan, tidak terkecuali apotek. Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mengalami pergeseran. Dengan adanya standar kompetensi farmasis yang harus dipatuhi, pelayanan kefarmasian di apotek sebagai salahsatu bagiannya, haruslah mendorong terpenuhinya hak-hak pasien dan keberhasilan terapi pada umumnya.
Hak-hak Pasien menurut Undang-Undang
Menurut UU kesehatan no 23/1992 dalam Bab Penjelasan dari Pasal 53 ayat 2, hak-hak pasien meliputi:
1. Hak untuk memperoleh informasi
2. Hak untuk memberikan persetujuan
3. Hak atas rahasia kedokteran
4. Hak atas pendapat kedua (second opinion)
Informasi yang berhak diterima pasien antara lain informasi mengenai: penyakit yang diderita, tindakan medik yang hendak dilakukan, informasi obat, kemungkinan penyulit sebagai akibat tindakan tersebut dan tindakan untuk mengatasinya, prognosanya, serta perkiraan biaya pengobatan.
Hak memberikan persetujuan maksudnya bahwa pasien berhak memberikan ijin ataupun menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya. Pasien juga berhak mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri setelah memperoleh informasi yang jelas mengenai penyakitnya.
Rahasia kedokteran bisa berupa kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya, dan privasinya. Sedangkan hak mendapatkan second opinion (pendapat kedua) memberikan kebebasan kepada pasien untuk berkonsultasi kepada dokter atau tenaga kesehatan kompeten lainnya.
Apabila pasien mendapatkan obat untuk proses terapinya, maka mereka juga berkedudukan sebagai konsumen obat yang mendapatkan hak-haknya menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Hak konsumen menurut pasal 5 UU Perlindungan Konsumen adalah:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/atau jasa
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak diskriminatif
8. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Pasien yang datang ke apotek untuk membeli obat atau menebus resep, dengan demikian memiliki hak-haknya secara hukum baik sebagai pasien maupun sebagai konsumen. Olehkarena itu sudah menjadi kewajiban dari farmasis di apotek untuk dapat memenuhinya, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan no 23/1992, yang menyatakan bahwa “Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien”.
Orientasi Baru Apotek
Tugas dan fungsi apotek dari waktu ke waktu mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan di segenap aspek yang lain. Pada masa lalu apotek lebih terkonsentrasi pada fungsi penyediaan obat (product oriented). Yaitu bagaimana menyediakan obat yang bermutu dan aman bagi masyarakat. Pada masa itu aktivitas peracikan obat sangat mendominasi. Karena formula produk yang dibuat industri farmasi masih terbatas, apotek menyediakan berbagai bahan baku untuk keperluan peracikan yang diresepkan oleh dokter.
Kemajuan teknologi dan maraknya industri farmasi telah membuat produk-produk obat baru bermunculan setiap tahunnya. Formula-formula resep yang dahulu harus diracik, kini sudah banyak diproduksi oleh industri. Aktifitas peracikan di apotekpun mulai berkurang. Ditambah dengan fenomena semakin banyaknya lulusan apoteker, maka orientasi apotekpun berubah. Dari product oriented, kini bergeser kepada patient oriented. Yaitu pelayanan kefarmasian yang berorientasi kepada pasien.
Kini perhatian lebih tertuju pada bagaimana pasien mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari obat, dan terhindar dari bahaya-bahaya penggunaaan obat. Aspek-aspek yang dinilai penting dalam pelayanan kefarmasien berorientasi pasien adalah ketepatan dalam pemilihan dan penyediaan obat, informasi obat, kepatuhan pasien, monitoring efek samping obat, dan evaluasi penggunaan obat pada pasien.
Kompetensi dan Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Apotek merupakan tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi serta perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Pekerjaan kefarmasian tersebut meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran obat, pelayanan atas resep dokter, pelayanan informasi obat, dan pengembangan obat.
Berbeda dengan usaha-usaha bisnis murni, apotek adalah tempat pengabdian profesi apoteker atau sering juga disebut farmasis. Profesi ini dibekali dengan keilmuan dibidang obat dan memiliki kode etik yang harus dipatuhi. Hanya apoteker yang berhak memimpin pengelolaan apotek, karena sebagaimana kita tahu bahwa obat adalah sebuah produk yang fungsinya bagaikan pisau bedah, tidak hanya membawa berkah, namun juga bisa membawa bencana bisa salah menggunakannya.
Dalam menjalankan profesinya, Apoteker atau farmasis di apotek diwajibkan mematuhi standar kompetensinya. Standar kompetensi farmasis di apotek yang erat kaitannya dengan pelayanan kepada pasien atau konsumen adalah:
1. Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal. Dalam melayani resep, farmasis memastikan ketepatan resep dari aspek kelengkapan resep, kesesuaian dosis, karakteristik pasien, interaksi antar obat, dan hal-hal lainnya yang berhubungan. Selanjutnya melakukan penyiapan dan penyerahan obat yang disertai dengan pemberian informasi yang memadai dan dibutuhkan pasien agar penggunaan obat benar-benar tepat. Lebih dari itu farmasis perlu melakukan evaluasi penggunaan obat yang diresepkan tersebut untuk memantau kemajuan terapi dan apakah terdapat masalah baru.
2. Memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan sendiri. Farmasis memberikan pertimbangan dan nasehat untuk menjamin keamanan dan efektivitas pengobatan mandiri yang dilakukan oleh masyarakat. Biasanya dilakukan dengan menggunakan jenis obat-obat bebas.
3. Memberikan pelayanan informasi obat, baik bagi pasien, tenaga kesehatan lain, masyarakat, maupun pihak-pihak lain yang membutuhkan guna peningkatan kesehatan. Informasi obat antara lain meliputi khasiat/indikasi, kontraindikasi, efek samping, dosis dan aturan pakai, interaksi obat, peringatan-peringatan penggunaan suatu obat, penyimpanan obat, serta harga obat.
4. Memberikan konsultasi obat. Hal ini mengingat kompleksitas permasalahan pasien dalam penggunaan obatnya yang perlu dikomunikasikan kepada farmasis. Farmasis harus mudah ditemui untuk membantu pasien menyelesaikan masalahnya tersebut.
5. Melakukan monitoring efek samping obat. Yaitu memantau baik secara langsung maupun tidak langsung terjadinya efek samping obat. Pasien juga berhak melaporkan terjadinya efek samping obat kepada farmasis di apotek agar dilakukan upaya-upaya pencegahan, mengurangi atau menghilangkan efek samping tersebut.
6. Melakukan evaluasi penggunaan obat untuk menjamin bahwa terapi obat sesuai dengan standar terapi, juga untuk mengontrol biaya obat. Sering terjadi kesalahan dalam penggunaan obat karena ketidakpatuhan pasien yang disebabkan faktor kurangnya informasi, bosan menggunakan obat, ataupun karena faktor lainnya. Akibatnya proses terapi menjadi tidak optimal, boros, bahkan bisa gagal. Pasien berhak untuk melaporkan perkembangan pengobatannya kepada farmasis agar lebih terkontrol.
Hak-hak pasien yang lain tetap berlaku terhadap pelayanan di apotek. Seperti hak mendapatkan persetujuan, misalnya apakah resep akan diambil semua ataukah tidak, pasien minta obat generik, dan menerima atau menolak rekomendasi dari farmasis. Hak pasien atas kerahasiaan kedokteran, mewajibkan pihak apotek untuk merahasiakan penyakit dan sebagainya yang berkaitan dengan privasi pasien. Sedangkan hak terhadap pendapat kedua (second opinion), memberikan kebebasan kepada pasien untuk berkonsultasi dengan farmasis lainnya.
Apabila pasien semakin menyadari akan hak-haknya, dan tenaga kesehatan mematuhi standar profesinya, maka dapat diharapkan proses pengobatan kepada pasien menjadi lebih optimal. Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan perlu terus dilakukan untuk mendorong terciptanya pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada masyarakat.